Ekonomi kreatif adalah ekonomi masa depan yang bertumpu pada daya kreasi manusia. Ekonomi kreatif pada hakikatnya adalah kegiatan ekonomi yang mengutamakan pada kreativitas berpikir 'thinking new things', yaitu berpikir sesuatu yang baru. Manifestasinya sangat banyak, seperti berpikir tentang cara baru, model baru, desain baru, pemasaran baru, usaha baru, distribusi baru, strategi baru, dan lain sebagainya.
Menurut data Departemen Perdagangan dan Perindustrian ekonomi kreatif menyumbang sekitar 11,75% dari PDB Indonesia pada tahun 2013. Sektor ini banyak disumbang oleh UKM sekitar 22,8%. Padahal jumlah Usaha Kecil Menengah (UKM) di Indonesia hingga 2011 mencapai sekitar 52 juta dengan sumbangan 60% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan menampung 97% tenaga kerja. Artinya masih ada UKM yang belum masuk ke Industri kreatif sekitar 80% an lagi.
Salah
satu model dasar yang digunakan dalam memotret dan memproyeksikan
ekonomi kreatif adalah model New England’s creative economy. Terdapat
tiga komponen inti dan tiga komponen pendukung dalam ekonomi kreatif di
daerah, yaitu:
- The Creative Cluster, yaitu perusahaan dan individu yang menghasilkan secara langsung maupun tidak langsung produk kreatif.
- The Creative Workforce, yaitu pemikir dan pelaksana yang dilatih secara khusus dalam keterampilan kreatif dan artistik yang mendorong kepemimpinan industri yang tidak hanya terbatas pada barang dan jasa.
- The Creative Community, yaitu area geografis dengan konsentrasi dari pekerjaan kreatif, bisnis kreatif, dan organisasi kreatif.
Bila
kita proyeksikan ke desa. Maka setiap domain dari kegiatan ekonomi desa
saling berhubungan dimana Creative Cluster merujuk pada pengertian
industri di desa, baik komersial maupun non-profit. Creatif workforce
adalah pekerjaan yang dapat dihasilkan desa, dan Creative Community
adalah wilayah desa dimana Creative Cluster berada.
Seandainya
UKM berbasis pedesaan dapat melakukan konvergensi dengan BUMDes dapat
ikut menumbuhkan ekonomi kreatif di pedesaan yang memberikan multiplier
effect cukup besar terhadap ekonomi daerah ditinjau dari : potensi
pasar, potensi ekonomi, potensi untuk sukses, dan dampak terhadap rakyat
miskin dan tentu saja dapat menciptakan kemandirian ekonomi mayarakat
desa. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk meningkatkan ekonomi
kreatif di pedesaan.
Gerakan "Satu Desa Satu Produk"
Dalam konteks ekonomi yang
berbasis pedesaan, salah satu gerakan ekonomi kreatif adalah gerakan
‘satu desa satu produk’ atau one village one product (OVOP). Gerakan
OVOP telah menarik perhatian dari daerah yang berpenghasilan rendah yang
tidak dapat menarik industri teknologi tinggi dan juga dari orang-orang
yang bekerja di bidang pengentasan kemiskinan dan masalah sosial.
Gerakan ini merekomendasikan penduduk yang tinggal di daerah-daerah
tersebut untuk menggunakan sumber daya lokal yang diproses dan dikemas
sedemikian rupa agar bisa dibawa dan bersaing di pasar.
Penduduk
setempat dipupuk untuk mempunyai kesadaran atas potensi mereka sendiri
dan sumber daya yang ada di wilayah mereka diakui sebagai kekayaan
lokal. Kontinuitas menjadi sumber kekuatan utama untuk menjadikan
produk-produk yang dihasilkan memiliki nilai tambah tinggi disertai
dengan adanya jaminan atas penjualan dan pengembangan sumber daya
manusia.
Jika diperhatikan secara seksama gagasan program OVOP
akan berhasil apabila masyarakat dan pemerintah memiliki visi yang sama
tentang potensi lokal yang berbasis budaya. Produk-produk anyaman pandan
di Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Kebumen, Provinsi Jawa Tengah
sebenarnya termasuk dalam gagasan dasar Morihiko Hiramatsu yaitu Local Yet Global.
Banyak vendor yang berkiprah dalam bisnis produk-produk tersebut dengan
cara mengambil bahan setengah jadi dan produk ¾ jadi dari perajin Desa
Grenggeng dan sekitarnya.
Konsep OVOP dan Ekonomi Kreatif
menempatkan pembangunan dan pengembangan SDM sebagai faktor penting.
Sasaran yang dituju OVOP adalah produk lokal yang berorientasi global
dengan pendekatan komunal. Sementara itu, ekonomi kreatif menggunakan
pendekatan individual. OVOP mengedepankan nilai tambah atas produk yang
sudah ada smentara ekonomi kreatif melakukan pembaruan atas produk atau
jasa yang telah ada atau justru menghadirkan produk dan jasa yang
benar-benar baru dalam suatu proses inovatif. Perbedaan keduanya bisa
dijembatani dengan kebijakan politik pemerintah yang kondusif. Tumpang
tindih dan 'perebutan wewenang' menangani kedua potensi kreatif
masyarakat justru akan mematikan jalan menuju Indonesia sejahtera, adil
dan makmur.
Potensi ini pula
yang tengah dibidik Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi (DPDTT), yang sedang berupaya menumbuhkan desa-desa yang
bisa menjadi pelopor dalam ekonomi kreatif. Semoga.
Sumber: www.berdesa.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar