"Apakah
dengan banyaknya perempuan yang sudah bekerja di berbagai bidang, dan
adanya Undang-Undang Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003 yang memberikan
perlindungan terhadap tenaga kerja, sudah menjamin terpenuhinya hak-hak
dasar dan tidak ada diskriminasi terhadap pekerja perempuan? BELUM!" (Rani Ratnaningdyah, SH. Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan,
Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana
(BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah)
Paradigma
kesetaraan gender, sebenarnya telah menempatkan perempuan untuk
memiliki kedudukan dan peran yang tidak kalah dengan laki-taki. Saat ini
banyak perempuan yang memiliki pekerjaan baik di sektor formal maupun
informal. Pekerjaan yang dulu hanya dipegang oleh laki-laki sekarang
sudah
banyak dilakukan Perempuan.
Undang-undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 yang memberikan
perlindungan terhadap tenaga kerja, menjamin hak-hak dasar pekerja, dan
menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas
dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan
keluarganya, dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia
usaha.
Namun sayangnya, perempuan masih saja tersingkirkan dan dianggap remeh,
serta dipandang tidak lebih baik daripada laki-laki.
Masih ada perusahaan yang belum menerapkan kesetaraan dan kesempatan kerja yang sama. Ada perusahaan yang terkadang melakukan keputusan yang sewenang-wenang dimana karena perempuan itu menikah, hamil dan/atau melahirkan mereka di-PHK oleh perusahaannya. Padahal perlindungan terhadap tenaga kerja, perempuan khususnya, telah diatur dalam UU Tenaga Kerja tersebut yaitu pasal 76-84 tentang cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, serta cuti keguguran. Selain itu pekerja perempuan juga diberi hak menyusui/memerah ASI sehingga perusahaan diwajibkan menyediakan ruang laktasi.
Bentuk
diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya menyangkut
kodrat, aspek peran yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab
tetapi
terkadang juga apresiasi terhadap hasil kerja yang dihasilkan perempuan.
Jarang sekali perempuan ditempatkan pada posisi sebagai Decision Maker/Pembuat
Keputusan, walaupun mereka mampu atau bahkan lebih baik dari laki-laki.
Oleh karena itu, budaya-budaya patriarki yang menempatkan posisi
perempuan secara marjinal harus dihilangkan dalam dunia kerja.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Berbagai
permasalahan yang terjadi dan harus dihadapi oleh para pekerja
perempuan tersebut, haruslah menjadi pemikiran bersama antara pekerja
perempuan (melalui serikat pekerja), perusahaan, dan pemerintah (Dinas
Tenaga Kerja). Adapun beberapa alternatif solusi yang bisa dilakukan,
di antaranya:
- Perlu adanya sosialisasi aturan-aturan ketenagakerjaan, terutama yang terkait dengan pekerja perempuan, kepada perusahaan dan tenaga kerja perempuan, agar ada pemahaman yang sama.
- Perlu adanya monitoring secara rutin yang dilakukan oleh Disnaker ke perusahaan-perusahaan, sebagai sebuah forum konsultatif antara pengambil kebijakan di perusahaan dengan Pemerintah (Disnaker).
- Perusahaan harus memfasilitasi adanya forum-forum diskusi ataupun menyediakan media-media yang bisa digunakan oleh pekerja perempuan untuk berkonsultasi dan menyampaikan permasalahan-permasalahan kerja yang dialaminya (misal: pertemuan rutin, kotak saran, SMS pengaduan, dlsb).
- Pemerintah, perusahaan, dan serikat pekerja harus harus bersinergis untuk menyediakan forum-forum penguatan kapasitas dan daya kritis pekerja perempuan secara berkala dan berkesinambungan. (IS)
Readmore @ Blog Insan Sembada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar