Jumat, 06 September 2019

Masihkah Pekerja Perempuan Terdiskriminasi?


"Apakah dengan banyaknya perempuan yang sudah bekerja di berbagai bidang, dan adanya Undang-Undang Tenaga Kerja Nomor 13 tahun 2003 yang memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja, sudah menjamin terpenuhinya hak-hak dasar dan tidak ada diskriminasi terhadap pekerja perempuan? BELUM!" (Rani Ratnaningdyah, SH. Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan, Badan Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah)

Paradigma kesetaraan gender, sebenarnya telah menempatkan perempuan untuk memiliki kedudukan dan peran yang tidak kalah dengan laki-taki. Saat ini banyak perempuan yang memiliki pekerjaan baik di sektor formal maupun informal. Pekerjaan yang dulu hanya dipegang oleh laki-laki sekarang sudah banyak dilakukan Perempuan. Undang-undang Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 yang memberikan perlindungan terhadap tenaga kerja, menjamin hak-hak dasar pekerja, dan menjamin kesamaan kesempatan serta perlakuan tanpa diskriminasi atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya, dengan tetap memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha. Namun sayangnya, perempuan masih saja tersingkirkan dan dianggap remeh, serta dipandang tidak lebih baik daripada laki-laki.

Masih ada perusahaan yang belum menerapkan kesetaraan dan kesempatan kerja yang sama. Ada perusahaan yang terkadang melakukan keputusan yang sewenang-wenang dimana karena perempuan itu menikah, hamil dan/atau melahirkan mereka di-PHK oleh perusahaannya. Padahal perlindungan terhadap tenaga kerja, perempuan khususnya, telah diatur dalam UU Tenaga Kerja tersebut yaitu pasal 76-84 tentang cuti haid, cuti hamil dan melahirkan, serta cuti keguguran. Selain itu pekerja perempuan juga diberi hak menyusui/memerah ASI sehingga perusahaan diwajibkan menyediakan ruang laktasi.

Bentuk diskriminasi terhadap perempuan bukan hanya menyangkut kodrat, aspek peran yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab tetapi terkadang juga apresiasi terhadap hasil kerja yang dihasilkan perempuan. Jarang sekali perempuan ditempatkan pada posisi sebagai Decision Maker/Pembuat Keputusan, walaupun mereka mampu atau bahkan lebih baik dari laki-laki. Oleh karena itu, budaya-budaya patriarki yang menempatkan posisi perempuan secara marjinal harus dihilangkan dalam dunia kerja.

Apa yang Bisa Dilakukan?
Berbagai permasalahan yang terjadi dan harus dihadapi oleh para pekerja perempuan tersebut, haruslah menjadi pemikiran bersama antara pekerja perempuan (melalui serikat pekerja), perusahaan, dan pemerintah (Dinas Tenaga Kerja). Adapun beberapa alternatif solusi yang bisa dilakukan, di antaranya:
  1. Perlu adanya sosialisasi aturan-aturan ketenagakerjaan, terutama yang terkait dengan pekerja perempuan, kepada perusahaan dan tenaga kerja perempuan, agar ada pemahaman yang sama. 
  2. Perlu adanya monitoring secara rutin yang dilakukan oleh Disnaker ke perusahaan-perusahaan, sebagai sebuah forum konsultatif antara pengambil kebijakan di perusahaan dengan Pemerintah (Disnaker). 
  3. Perusahaan harus memfasilitasi adanya forum-forum diskusi ataupun menyediakan media-media yang bisa digunakan oleh pekerja perempuan untuk berkonsultasi dan menyampaikan permasalahan-permasalahan kerja yang dialaminya (misal: pertemuan rutin, kotak saran, SMS pengaduan, dlsb).
  4. Pemerintah, perusahaan, dan serikat pekerja harus harus bersinergis untuk menyediakan forum-forum penguatan kapasitas dan daya kritis pekerja perempuan secara berkala dan berkesinambungan. (IS

Readmore @ Blog Insan Sembada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar