Pada tahun 2013, Biro Pusat Statistik (BPS) memperkirakan terdapat 65 juta keluarga di lndonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 14% (9 juta) dikepalai oleh perempuan. BPS telah mengkualifikasikan bahwa orang yang dapat disebut sebagai kepala keluarga yakni orang yang dalam kenyataannya bertanggungjawab atas kebutuhan sehari-hari dalam sebuah rumah tangga atau orang yang dianggap sebagai kepala keluarga.
Nilai sosial budaya masyarakat, umumnya masih menempatkan perempuan dalam posisi sub-ordinat. Sebagaimana secara tegas juga tertulis di dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974, bahwa dalam kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan di lndonesia, kepala keluarga adalah suami atau laki-laki.
Berpijak dari itulah, keberadaan perempuan sebagai kepala keluarga tidak sepenuhnya diakui baik dalam sistem hukum yang berlaku, maupun dalam kehidupan sosial masyarakat. Akibatnya perempuan kepala keluarga menghadapi diskriminasi hak dalam kehidupan sosial politiknya.
Rumah tangga yang dikepalai perempuan umumnya miskin dan
merupakan kelompok termiskin dalam strata sosial ekonomi di lndonesia.
Hal ini terkait erat dengan kualitas sumberdaya perempuan kepala
keluarga yang rendah. Data dasar Sekretariat Nasional PEKKA di 8
provinsi menunjukkan bahwa perempuan kepala keluarga umumnya berusia
antara 20-60 tahun, lebih dari 38.8% buta huruf dan tidak pernah duduk
di bangku sekolah dasar sekalipun.
Sebagian perempuan menghidupi antara 1-6 orang tanggungan, bekerja sebagai buruh tani dan sektor informal dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp 10.000,00 per hari. Banyak dari mereka bahkan telah mengalami trauma karena tindak kekerasan dalam rumah, termasuk pembatasan hak-haknya dalam kegiatan ekonomi. Terlepas dari semua kondisi kehidupan perempuan yang memprihatinkan, perempuan khususnya yang hidup di negara berkembang sebenarnya memiliki peran tersendiri sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan.
Sebagian perempuan menghidupi antara 1-6 orang tanggungan, bekerja sebagai buruh tani dan sektor informal dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp 10.000,00 per hari. Banyak dari mereka bahkan telah mengalami trauma karena tindak kekerasan dalam rumah, termasuk pembatasan hak-haknya dalam kegiatan ekonomi. Terlepas dari semua kondisi kehidupan perempuan yang memprihatinkan, perempuan khususnya yang hidup di negara berkembang sebenarnya memiliki peran tersendiri sebagai salah satu instrumen pengentasan kemiskinan.
Readmore @ Blog Insan Sembada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar